Hitam & Mencekam

Posted on

Judul: Hitam & Mencekam
Penulis: Abdul “Fadlie “ Al Ra’uf

Pendekar LanunMalam itu, hujan begitu deras selepas adzan isya berkumandang hujan tak kunjung reda, namun tekat yang begitu kuat untuk tiba di tanah kelahiran sudah tak terbendung lagi. Bertemankan jas hujan aku berdua bergegas turun ke jalan yang mulai menghitam, berteman dengan sang waktu, berjabat erat dengan sang malam kami lewati satu demi satu rerumputan yang menghiasi kota khatulistiwa itu, dingin terasa menusuk sampai ke tulang namun kami tak patah arang.

Jalanan yang seharusnya bersahabat, hari itu membuat kami cemas dan guyuran hujan semakin deras, pacuan kuda besi tidak lah begitu cepat karena terhalang oleh jarak pandang yang terbatas. Sesekali kuusap mukaku yang tertutup secarik kain, menghindar dari terpaan angin laksana badai dimalam pekat, perjalanan itu membuatku seperti raja jalanan yang sepi, hanya sesekali gerobak moderen melintas namun tekat itu terhenti di Pinyuh untuk menikmati secangkir kopi susu dan sebatang rokok. Sambil memikirkan strategi untuk melumpuhkan kejamnya malam itu, kuhisap Mild yang hampir habis, hisapan dalam dan dilanjutkan dengan hembusan asap putih tidak membuat pikiranku berhenti untuk memikir, dengan tekat yang kuat dari kami berdua untuk menaklukan jalanan yang gelap dan pekat dimulai.

Tak terasa jam 11.15 PM kami tiba di sebuah lorong yang menyeramkan, jalanan yang tepinya berbatuan dan tidak ada kehidupan disana, melainkan hutan belantara di sisi kiri dan kanan jalanan itu, kucoba tuk mengingat perkampungan itu namun semakin ku mencoba tuk mengingat, semakin hilang nama kota itu di ingatanku, tak lama kemudian aku menikmati dinginnya pantai diantara pohon cemara itu, namun kali ini tanpa menguras tenaga untuk membangkitkan memori yang ada di kepala aku teringat dengan suasana pasir panjang, yang masih hijau dan hembusan angin tak begitu dingin, walau suara hempasan ombak dipantai tak dapat kudengar, namun kucoba tuk menyatu dengan alam berharap agar suatu saat nanti alam dapat berbicara kepadaku dan mengisahkan tentang indahnya pantai itu.

Hujan mulai reda itu pertanda bahwa alam mulai mundur dari syaimbara ini, mereka mundur karena kalah ataupun mundur untuk merencanakan suatu hal atau entah lah biar sang waktu yang menjawab semua teka-teki tentang alam itu yang pasti kami telah menemukan bongkahan tanah yang awalnya tak bernentuk semakin kami mendekat bongkahan tanah itu menjadi terlihat cantik dan bongkahan tanah itu berbentuk GUCI, ternyata desa itu adalah Sakok sebuah desa kecil yang dihuni sebagian besar warga tionghua yang mendalami seni membuat guci, tapi malam itu hanya terlihat satu guci berukuran raksasa yang terpajang dipinggiran jalan terhimpit oleh warung remang-remang didepannya ramai para wanita berpenampilan sexy menatap kosong seakan mengutuk alam yang telah menghalangi mereka untuk menyambung hidup. Sepi tanpa seorangpun pria-pria penikmat sensasi hawa berada di situ, hanya 2 buah mobil avanza dan beberapa mobil yang tak kukenal.

Penaklukan itu hampir berakhir dan puncak kemenangan semakin dekat di pelupuk mata, namun dinginnya masih terasa dan tak berkurang dari semula, tubuh kami berkilauan karena basah, namun hati tetap gembira tatkala melihat gerbang selama datang di Kota Singkawang yang berakhir disebuah penginapan tepat pukul 12.AM lewat beberapa menit.

Tags: Gelap, Malam, Perjalanan, Hujan, Rintangan, Guci, Wanita, Rembulan88, Saliung, Singkawang, Pontianak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.