Judul: Kerinduan dimalam Romadhon
Oleh: Nour M.A
Aku terkejut ketika melihat seorang balita yang ketika itu mendekapku saat i’tidal, Novan. Baru sehari dia mengenalku saat aku bertamu kesinggasana sahabatku yang sederhana. Setelah imam menyelesaikan salamnya yang kususul segera dan bergegas mendekap gadis kecil itu.
“Sendiri de’ ?”
Ia menggelengkan kepalanya seakan mengerti apa maksudku.
“Sama sapa cii . . ?” tanyaku penasaran, namun tak lama ia menunjuk kearah belakang.
“Wulan !? Kamu kesini ma sapa ? Kasian Novan !” bentakku setengah merendah.
“Tapi dia mau, dirumah juga gag ada orang.” sesalnya.
Tiga rokaat witir terakhirku terpotong dengan kehadiran mereka, segera ku mengajaknya kerumah dan ku gendong Novan.
“Kenapa si kamu kesini? Gag pake ngabari dulu lagi.”
“HP ku disita masku, dia sering marah setelah temen-temen cowo’ ku sering main kerumah,”
“Termasuk aku?” tanyaku memotong penjelasannya.
“Bukan, justru karna kamu gag pernah main lagi.”
“Romadhon ini banyak kegiatan, aku jua minta maaf gag pernah sms kamu.”
“Pulsa ku juga habis” sambungku singkat.
“Aku kangen kamu kak”
“KK’ juga, tpi ni dah malem de’.Novan juga dah ngantuk ni.”
Setiba dirumahku, aku berganti pakaian dan segera menyiapkan sepeda motorku.
“KK’ anter pulang iah?”
“Hu’um”
Jam yang bertengger didinding tlah menunjuk ke angka 9.30, aku tau itu artinya kami bakal kena marah ibunya, atau bahkan mas nya yang galak dan garam setiap melihat lelaki mengunjungi saudarinya dirumah.
“Assalamu ‘alaikum” sembari kuketuk pintu rumah yang tlah rapat dihadapanku.
“wa’alaikumussalam”
Hampir setengah jam kujelaskan semua kejadian yang sebenarnya pada ibu. Rasa heran beraduk takut menyinggahi dadaku, namun kali ini berbeda. Abangnya menyambutku dengan ramah nan sopan, hinnga rasa tersebut luntur bahkan lenyap seketika.
“Kok jarang kesini?” tanyanya dengan nada halus.
“Iya mas, masih banyak kegiatan” ibu kembali dengan secangkir teh hangat dan sepiring makanan kecil dinampan.
“Dimakan lho mas.”
“Nggeh bu,” jawabku setengah malu.
Tak terasa malam mulai sunyi, aku pun segera beranjak berpamitan.
Wulan, berlari kecil menarik lenganku.
“Makasih ya kak,” sembari mencium tangan ku yang mulai kedinginan.
“Lain kali jangan diulangi iah?” pintaku seraya mengecup keningnya.
“Tuuut.tut.tutut.” dering Hp ku menyanyi.
Kuterima sms dari de’ Wulan.
“Kak, HP ku balik. Barusan mas ngembaliin.”
Malam itu menjadi sebuah renungan dalam lembar hidupku yang ketiga setelah kedua mantan tunangan ku pergi. Sepertiga malam membangunkanku dalam lelap tidurku, kusambunga tarawihku hingga witir terakhir dan kututup dengan bacaan Al Qur’an.
Hingga malam ke 29 tiba saat ku mengajaknya berbuka bersama dipesisir pantai selatan. Keindahan sunset yang menyinari kami mulai pergi perlahan. Banyak kisah yang saling kami ungkapkan, tawa canda yang beriringan serta tatapan mata berpapasan berkali-kali.
kujabat tangan nya,
“Wulan, aku sayang kamu.”
Serasa waktu terhenti, semua berubah sepi, hanya aku dan dia yang masih terkejut dengan kata-kataku.
Dipeluknya tubuhku seerat mungkin, dadaku berdegup kencang, tubuhku merasakan kehangatannya.
“Aku juga sayang kk’..”.
Tangis haru mewarnai malam panjangku bersamanya, hingga kini aku kan slalu hadir disisinya.